Webinar Aku Wong Jawa

Nguri-uri Budaya Jawi ing Era Digital

Temukan kembali jati diri dan kearifan luhur Jawa yang relevan hingga kini. Mari bersama kupas tuntas filosofi adiluhung di webinar eksklusif "Aku Wong Jawa".

Daftar & Bangkitkan Jiwamu!

Tips Jadi Sinden Sejak Kecil Ala Leghit Mustika Pualam, Sinden Cilik Asal Sragen

Daftar Isi

Leghit Musika Pualam

Oleh: Mukaromatun Nisa

SEMARANG, BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Di usia sepuluh tahun, Leghit Mustika Pualam sudah akrab dengan panggung-panggung seni tradisional. 

Sinden cilik asal Sragen tersebut menekuni dunia sinden, menyanyikan tembang Jawa dalam pertunjukan wayang dan acara budaya lainnya sejak usia delapan tahun. 

Meski tergolong anak-anak, langkah Leghit menunjukkan bahwa ketertarikan pada budaya bisa tumbuh sejak dini jika mendapat dukungan yang tepat.

 Melalui live Aku Wong Jawa Episode 16 dari Babad.Id dengan tema Lestarikan Budaya Jawa Seja Kecil; Kisah Inspiratif Leghit sebagai Sinden Cilik pada Minggu Wage, 23 Maret 2025 pukul 16.00 WIB, Leghit berbagi kisah inspiratifnya sebagai sinden cilik termasuk tips menjadi sinden sejak usia anak-anak.

Berawal dari Tari dan Lingkungan Keluarga

Minat Leghit pada seni muncul lewat kebiasaannya menari. Sejak kecil, ia sering menemani sang ibu, Suci Rahayu, yang berprofesi sebagai penata rias pengantin dan juga penari. Dari kegiatan itulah, ia mulai menirukan gerakan tari dan menunjukkan minat yang konsisten.

“Awalnya suka nari, bukan nyinden. Tapi karena sering diajak ke acara mantenan, jadi tertarik juga nyinden,” cerita Leghit saat ngobrol santai di program Aku Wong Jawa dari Babad.id.

“Biasanya kalau pengantin yang rias di Bunda itu ada free cucuk lampahnya (penari yang mengiringi pengantin). Nah, Dik Leghit ini sering ikut Bunda jadi cucuk lampahnya,” terang Suci.

Faktor keluarga juga turut berperan penting dalam perjalanannya. Kakek Leghit, almarhum Ki Dalang Paryadi YHC, adalah seorang dalang. 

Beberapa kerabat dari pihak ibunya pun berkecimpung di dunia pedalangan seperti Ki Eko Prohatin, Ki Putrapurnama, Ki Ari YHC, Ki Sigit Wibowo dan kakak Leghit Ki Awan Prasetyo. 

Hal ini membuat Leghit tumbuh di lingkungan yang lekat dengan kesenian tradisional.

“Sejak usia tiga tahun Dik Leghit itu sudah menari. Baru ketika umur delapan tahun mulai belajar nyinden,” cerita sang ibu.

Menurut Suci, mengenalkan budaya dan melestarikannya kepada generasi penerus menjadi tanggung jawabnya sebagai orang tua. 

Dalam setiap hobi seni yang digeluti Leghit baik nyinden maupun menari, sebaik dan semaksimal mungkin Suci memberikan dukungan dan fasilitas.

Berkat ketelatenan sang ibu, Lebhit menjalani pentas-pentasnya dengan riang gembira sebab menganggapnya sebagai hobi yang seru dan menyenangkan.

Belajar dan Berkembang di Sanggar Bromastra

Langkah awal Leghit dalam dunia sinden dimulai saat ia bergabung dengan Sanggar Bromastra di Sragen. Di sanggar tersebut, ia belajar menari secara rutin sekaligus mengikuti les sinden dua kali seminggu. 

Penampilan perdananya sebagai sinden terjadi dalam acara ulang tahun Sragen di kawasan Kemukus, di mana ia membawakan tembang “Kutut Manggung”.

Kini, Leghit sudah beberapa kali tampil di berbagai daerah, termasuk hingga Kalimantan. Ia juga berkesempatan diundang di salah satu stasiun TV nasional. 

Sebagai bentuk support dan kasih sayang yang penuh dari seorang ibu, Suci Rahayu selalu mendampingi Leghit baik saat pentas dengan menjadi penonton atau sebelum pentas dengan menyiapkan riasan, kostum, dan segala kebutuhan lainnya.

Mengatur Waktu Sebaik Mungkin

Meski cukup sering tampil di berbagai acara, Leghit tetap menjalankan peran sebagai siswi kelas 4 SD Katelan 1 Tangen Sragen. Ia membagi waktu antara sekolah, latihan, dan bermain. 

Seringnya, Leghit memilih mengambil job pentas ketika akhir pekan seperti malam Minggu agar tidak menggangu kegiatan belajarnya di sekolah.

 Jika harus tampil di hari sekolah, ia mendapat izin dari pihak sekolah karena aktivitas seninya juga mendapat dukungan dari lingkungan pendidikan. 

“Kalau sekolah ya sekolah, nyinden ya nyinden, main juga tetap ada waktunya,” ujarnya.

Tantangan dan Tips dari Pengalaman Leghit

Menghafal tembang dalam bahasa Jawa krama inggil menjadi tantangan tersendiri bagi Leghit. Namun, ia mengaku biasanya bisa hafal dalam tiga kali latihan. Ia juga belajar menyampaikan isi tembang dengan penghayatan, tak hanya sekadar menghafal lirik.

Dari pengalamannya, berikut beberapa hal yang bisa menjadi panduan bagi dulur-dulur babad yang ingin belajar nyinden, maupun orang tua yang ingin mendukung anaknya di bidang seni:

  1. Kenali Minat Sejak Dini
    Leghit mulai menunjukkan ketertarikan pada seni sejak usia tiga tahun. Mengamati ketertarikan anak bisa menjadi langkah awal yang penting.
  2. Dukungan Keluarga Membantu Proses Berkembang
    Pendampingan dari orang tua seperti yang dilakukan Suci membuat anak merasa lebih percaya diri.
  3. Ikut Sanggar atau Komunitas Seni
    Bergabung dengan sanggar seperti Brumastra memberikan ruang latihan yang terarah dan suasana yang mendukung.
  4. Manajemen Waktu
    Menjadi sinden sekaligus pelajar membuat Leghit belajar membagi waktu sejak kecil.
  5. Konsistensi dan Kesabaran
    Menurut ibunya, kunci pendampingan adalah kesabaran dan memberi ruang eksplorasi, bukan paksaan.

Persiapan Pentas Ala Leghit

Leghit dan sang ibu juga berbagi bagaimana mereka menyiapkan diri menjelang tampil. Ini beberapa hal yang biasa mereka lakukan:

  • Latihan tembang minimal tiga kali dan memahami makna lagunya.
  • Menjaga kesehatan agar tetap bugar saat tampil, apalagi jika acara berlangsung malam hari atau di luar kota.
  • Mempersiapkan perlengkapan pentas, mulai dari kebaya, jarik, riasan wajah, hingga sanggul.
  • Koordinasi dengan penyelenggara untuk mengetahui susunan acara dan giliran tampil.
  • Didampingi orang tua selama perjalanan dan penampilan.

 Leghit tidak hanya tampil sebagai sinden, tapi juga membawa pesan tentang pentingnya menjaga budaya sejak dini. Ia tumbuh dengan rasa percaya diri bahwa budaya bisa menjadi bagian dari keseharian anak-anak, asal diberi ruang untuk tumbuh. 

Melalui program seperti Aku Wong Jawa, kisah seperti Leghit bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak lain, serta para orang tua yang ingin mengenalkan budaya kepada generasi muda dengan cara yang menyenangkan dan relevan.***

Posting Komentar

Webinar Aku Wong Jawa

Diskusi Buku: Lukisan Kaligrafi

"Lukisan Kaligrafi: Mengukir Spiritual, Memahat Estetika". Bersama inisiator Teras Baca Boja, Zakia Maharani.

Daftar Sekarang!

📣 Ikuti Tantangan Bulanan "Cerita dari KKN"! 📣

Bagikan pengalaman KKN-mu yang paling berkesan dan menangkan hadiah menarik setiap bulannya! Ini kesempatanmu untuk berbagi cerita inspiratif dan mendapatkan apresiasi.