Riwayat Kampung Melayu Semarang, Kampung Kosmopolit yang Multikultural

Daftar Isi

Pintu masuk Jalan Layur Kampung Melayu yang telah rampung direvitalisasi dengan jumlah anggaran sebesar 30 miliar, rampung pada akhir Desember 2022. (Fikri Thoharudin/babad.id)
Pintu masuk Jalan Layur Kampung Melayu yang telah rampung direvitalisasi dengan jumlah anggaran sebesar 30 miliar, rampung pada akhir Desember 2022. (Fikri Thoharudin/babad.id)
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Sebelum orang-orang Eropa khususnya Belanda datang, Semarang, selain ditinggali oleh orang Jawa, juga telah dimukimi oleh beberapa suku bangsa lain.

Para pendatang tersebut berasal dari China, Gujarat, Arab, Yaman (Hadramaut), hingga sejumlah etnis di Nusantara seperti dari Koja, Banjar, Aceh, Sulawesi maupun kawasan Asia lainnya.

Banyak yang kemudian menetap di Kampung Melayu. Umumnya mereka bermukim secara kelompok di tepian Kali Semarang.

Kampung Melayu yang terletak di Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, dalam riwayatnya turut menjadi bagian yang memainkan peran sejarah perniagaan di tanah air.

Wilayah tersebut kemudian menjadi tempat relokasi pelabuhan lama dari daerah Mangkang.

Pemindahan pelabuhan yang dikenal dengan nama Ngeboom itu dilakukan oleh pihak kolonial dengan maksud untuk mendekatkan pelabuhan ke kota benteng.

Sontak, keberadaan pelabuhan kecil tersebut membuat kawasan yang mulanya sepi menjadi kian ramai.

Perkembangan kampung Melayu terjadi sejak abad ke-17 sebagai tempat para pedagang mendampratkan jonk (perahu kecil) mereka di sepanjang Kali Semarang.

Tak sedikit orang yang datang, mulai dari awak kapal, pedagang, hingga pekerja bongkar-muat barang.

Karena menjadi tempat pendaratan orang-orang yang singgah di Semarang, disebutlah pelabuhan dan pemukiman di sekitarnya tersebut sebagai Dusun Darat.

Pada buku Riwayat Kota Lama Semarang dijelaskan, setelah adanya Dusun Darat kemudian muncul dusun lain bernama Ngilir sebagai tempat tinggal para penambang perahu kecil.

Perahu tersebut difungsikan untuk mengangkut penumpang antar kota pesisir di sekitar Semarang, seperti Kendal, Demak, hingga Jepara.

Dokter dan ahli perikanan dari Belanda, Pieter Bleeker pernah menuliskan kesannya terhadap kawasan Kampung Melayu Semarang pada medio abad ke-19.

"Sebuah distrik yang membentang di sebelah barat sungai di antara kota tua dengan laut. Sebuah jalan lebar membentuk area yang luas di distrik ini, di mana beberapa ratus penduduk asli tinggal di gubuk bambu mereka yang dinaungi oleh pohon kelapa," tulis Pieter dalam catatan perjalanannya.

Pieter melanjutkan, di jalan tersebut terdapat banyak rumah permanen yang dibangun dengan corak dan arsitektural Eropa.

"Secara umum, distrik ini bukan kawasan yang nyaman ditinggali, karena selalu tergenang banjir pada musim penghujan dan cenderung tidak sehat," singgungnya.

Semakin mendekati pantai, kondisi distrik tersebut berupa rawa yang tidak berpenghuni, sebab semakin bertambahnya tahun area rawa meluas ke arah laut.

"Itu terjadi akibat sedimentasi yang tinggi dan berbiaknya tanaman jeruju (Acanthus Ilicifolius) di permukaan rawa. Beberapa bagian rawa telah diubah warga menjadi tambak ikan," katanya.

Masjid Menara

Warga sedang melewati Jalan Layur pada Rabu, 22 November 2023. (Fikri Thoharudin/babad.id)

Warga sedang melewati Jalan Layur pada Rabu, 22 November 2023. (Fikri Thoharudin/babad.id)

Salah satu etnis yang cukup menonjol ialah Arab Hadramaut. Sebagai pedagang yang beragama Islam, mereka membangun rumah ibadah untuk memenuhi kebutuhan spiritual.

Awalnya masjid dibangun di daerah Nglilir, tepatnya di titik pertemuan Kali Semarang dan Kali Cilik. Setelah itu, orang-orang yang kebanyakan bergelar sayid membangun masjid berlantai dua di daerah Regang (sekarang jalan Layur).

Diketahui, masjid yang lantas dikenal sebagai Masjid Menara tersebut dibangun pada tahun 1802. Arsitekturnya dipengaruhi oleh desain Jawa, dengan ciri khas struktur atap "tajuk" bertingkat tiga.

Pada zaman dulu, masjid bertingkat dua ini dapat diakses langsung dari arah sungai. Akan tetapi kini hanya tersisa satu bangunan saja sebab lantai dasarnya diuruk.

Pada bagian bawah batas elevasi peil lantai bangunan masjid, dapat ditemui kusen bercatkan hijau tosca masih terlihat mengintip ke permukaan.

Tampak kusen jendela lantai bawah Masjid Layur yang mengintip ke permukaan. (Fikri Thoharudin/babad.id)
Tampak kusen jendela lantai bawah Masjid Layur yang mengintip ke permukaan. (Fikri Thoharudin/babad.id)
Sementara mercusuar pada kompleks masjid dulunya difungsikan untuk menara pengawas perahu-perahu yang lewat.

Pada 4 Februari 1992, Pemerintah Kota Semarang melalui keputusan walikota nomor 646/ 50 menetapkan Masjid Layur sebagai bangunan Cagar Budaya.

Klenteng Kam Hok Bio

Pada pintu masuk Jalan Layur juga terdapat Klenteng Kam Hok Bio.

Klenteng tersebut juga dikenal sebagai "Klenteng Dewa Bumi" dan dianggap oleh banyak penduduk setempat sebagai simbol harmoni dan perdamaian.

Meski dalam perjalanannya proses pendirian klenteng oleh beberapa kelompok warga China itu sempat mengalami penolakan, namun pada tahun 1901, atas bantuan Gubernur Jenderal Willem Rooseboom yang berkedudukan di Buitenzorg (Bogor), klenteng bisa rampung dan mulai digunakan.

Unsur lain yang penting dalam perkembangan Kampung Melayu ialah keberadaan pasar Nglilir yang kian ramai.

Akibatnya, Jalan Layur menjadi salah satu pusat perdagangan penting di kawasan tersebut.

Di sepanjang Jalan Layur kemudian berdiri toko-toko yang membentuk sebuah koridor yang disebut-sebut sebagai koridor Layur.

Peran koridor Layur semakin penting saat Kali Baru dibuka pada 1873, dan dibangun pasar Regang.

Fungsi koridor yang mulanya sebagai pusat perdagangan lantas berubah menjadi jalur sirkulasi yang menghubungkan blok-blok pemukiman di Kampung Melayu.

Kini, hanya bisa terlihat sisa-sisa kejayaan kawasan kosmopolit tersebut di sepanjang Jalan Layur.

Perbedaan amat terlihat jika membandingan keadaan sekarang dengan foto-foto lama, seperti kali dan jalan yang dulunya luas tampak dipersempit.

Kemudian rumah-rumah kuno dengan jendela krepyak khas era kolonial yang kian layu, dan perlahan makin ambles ke dalam tanah seperti masuk dalam kubangan lumpur hisap.

Di samping itu, hanya satu dua bangunan yang menolak roboh, karena pemiliknya melakukan revitalisasi.(Fikri Thoharudin)

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar