Perjuangan Penghayat Kepercayaan di Kendal, dari Sulitnya Mendapat Izin Nikah hingga Akses Sekolah

Daftar Isi

Penghayat kepercayaan Sapta Darma di Kendal Jawa Tengah harus berjuang dalam memeroleh hak-hak mereka sebagai warga negara.

Perhimpunan Sapta Darma (Persada) Kendal, Purnomo bersama istri. (Isbalna/babad.id)
Perhimpunan Sapta Darma (Persada) Kendal, Purnomo bersama istri. (Isbalna/babad.id)
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - “Dulu meminta stempel untuk pernikahan saja susah sekali, berhari-hari bolak-balik tapi tidak diberi stempel.

Demikian cerita Purnomo, lelaki berusia 37 tahun, yang saat ini diberi amanah untuk menjadi ketua Perhimpunan Sapta Darma (Persada), di salah satu desa di Kendal. Ia memutar kembali ingatan di 2015, ketika ia hendak menikahi Kartini yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya.

Ia dan Kartini adalah pasangan pertama dari penganut kepercayaan yang menikah di Kendal. Prosesnya jelas tidak mudah, untuk mendapatkan stempel dari kelurahan saja ia harus berjuang keras. Pasalnya, pihak kelurahan mendapatkan tekanan dari tokoh setempat agar tidak memberikan izin pernikahan tersebut.

“Sepurone, asline aku gelem ngei stempel iki, tapi aku ditekan tokoh masyarakat kene,” Purnomo menirukan ucapan kepala desa saat itu dengan Bahasa Jawa.

Namun Purnomo tidak pernah menyalahkan para tokoh masyarakat tersebut, terlebih kepala desa. Ia membayangkan, jika ia di posisi yang berbeda, mungkin ia akan melakukan hal yang serupa.

Menurutnya, kemungkinan ada ketakutan tersendiri jika ajaran Sapta Darma berkembang, maka umat agama lain akan berkurang penganutnya.

Ujian dalam proses pernikahannya hanya bagian kecil dari berbagai cobaan yang pernah ia alami sebagai penganut kepercayaan Sapta Darma. Sebelumnya, Purnomo dan beberapa penganut kepercayaan Sapta Darma juga mendapatkan intervensi dalam hal beribadah. Hal ini terjadi sebelum 2012, di mana ketika mereka hendak melakukan Sujud Penggalian, yakni 12 hari berturut-turut beribadah bersama, mereka mendapatkan penolakan dari masyarakat.

“Saat itu kami harus bolak-balik ke kepolisian memberikan surat pemberitahuan acara tersebut. Polisi saat itu memberikan izin, bahkan dari mereka mengatakan untuk hal semacam ini tidak usah izin, karena sudah legal. Nanti kalau ada penolakan lagi, pihak kepolisian yang langsung terjun ke TKP,” kata Purnomo di rumahnya pada Sabtu 18 Juni 2022.

Tidak berhenti di situ, tekanan yang diterima para penghayat kepercayaan Sapta Darma terus berlanjut. Di antaranya penolakan pemakaman dan pendidikan. Saat anak pertama Purnomo yang berumur 5 tahun meninggal 2015 silam, Purnomo dan istri bak sudah jatuh tertimpa tangga. Ia sedang berkabung, namun para tetangganya justru seperti memandang sinis kepada mereka. Tidak ada seorangpun yang berani masuk ke rumahnya untuk melayat.

“Ibarat roda berputar, saya itu sudah di bawah, nambah ditekan, dilindas. Tetapi saya yakin, itu adalah proses untuk menjadi semakin kuat atas keyakinan saya,” lanjut Purnomo.

Penolakan pemakaman terhadap penghayat kepercayaan Sapta Darma memang sering terjadi sebelum tahun 2021. Kata Purnomo, penolakan tersebut terjadi karena masyarakat percaya jika pemakaman umum yang kebanyakan dipakai agama tertentu, dipakai juga oleh agama lain, maka orang yang meninggal dari agama lain tersebut akan disiksa di neraka, dan mengganggu ketenangan mayat lainnya yang di sana.

“Dulu itu tokoh masyarakat, ulama, itu sering kumpul di balai desa, mereka rapat untuk menolak pemakaman dari agama lain. Tetapi saya bersyukur, penolakan-penolakan tersebut sudah tidak terjadi semenjak pergantian Kepala Desa pada 2021,” ungkap Purnomo.

Pernah juga di tetangga desanya terjadi hal yang serupa. Warga di sana menolak pemakaman dari pihak Sapta Darma dengan dalih jika pemakaman tersebut adalah tanah wakaf. Namun, saat pihak Sapta Darma meminta surat wakaf tersebut, mereka tidak bisa menunjukkannya, sehingga pemakaman tersebut ditetapkan sebagai pemakaman umum.

Dalam memperjuangkan hak-haknya, Purnomo jelas menemui berbagai halangan dan rintangan. Ia mengibaratkannya seperti besi yang ditempa dan akan menjadi barang yang berguna.

Bagi mereka penolakan sudah seperti makanan sehari-hari, bahkan ketika ingin menuntut ilmu. Ia ingat betul ketika mengupayakan pendidikan bagi anak-anak Sapta Darma. Beberapa guru dan kepala sekolah pernah menganggap mereka sebagai kepercayaan ilegal, sehingga Purnomo harus menghadap ke Dinas Pendidikan (Diknas) terlebih dahulu untuk meminta surat keterangan bahwa kepercayaan yang ia anut legal dan berhak mendapatkan pendidikan.

“Dulu pernah terjadi penolakan terhadap peserta didik yang dari Sapta Darma. Namun dari kejadian itu justru seperti membuka jalan bagi kami. Sehingga dari Diknas dan Kejagung pun jadi lebih terbuka. Sehingga permasalahan serupa sudah tidak ditemukan lagi hingga saat ini,” ucap Purnomo.

Purnomo menjelaskan, dalam memperjuangkan hak-haknya, ia biasanya bekerja sama dengan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) atau Forum Keberagaman Umat Beragama (FKUB). Kemudian mereka menggandeng Diknas dan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat, termasuk di bidang pendidikan.

Kartini, penyuluh penghayat kepercayaan Sapta Darma mendampingi anak-anak belajar. (dok Sapta Darma untuk babad.id)
Kartini, penyuluh penghayat kepercayaan Sapta Darma mendampingi anak-anak belajar. (dok Sapta Darma untuk babad.id)
Istri Purnomo, yakni Kartini, menjadi salah satu tenaga pendidik atau yang biasa disebut penyuluh untuk tingkatan Sekolah Dasar (SD). Ia mengatakan, di Kendal, dari total 17 siswa mulai SD hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), mereka hanya memiliki tiga tenaga pendidik. Ketiganya berperan sebagai penyuluh yang hanya mendapatkan gaji Rp300.000 dan dipotong pajak.

“Saya menjadi penyuluh sejak 2019 dan Januari tahun ini baru dapat gaji dari pemerintah Rp300.000 dan masih dipotong pajak. Kalau dihitung dapatnya Rp285.000 perbulan,” ujarnya.

Bukan perkara mudah untuk mendapatkan anggaran tersebut, pasalnya seorang penyuluh harus memiliki legalisasi sebagai penyuluh tingkat terampil dan ahli terlebih dahulu. Sehingga penyuluh yang belum memiliki legalisasi tersebut tidak dibayar sepeserpun.

“Tingkat ahli itu biasanya yang sarjana. Sedangkan saya dan satu teman saya bukan sarjana, hanya penyuluh biasa, kami menjadi penyuluh karena kami sangat kekurangan tenaga pendidik. Dari tiga penyuluh di sini, masih ada satu penyuluh yang tidak dibayar sepeserpun. Tetapi kami tetap semangat karena kami anggap sebagai pengabdian kepada negara dan ajaran. Meski prihatin juga,” lanjutnya.

Sebenarnya, kata Kartini, pemerintah ingin memberikan gaji lebih kepada penyuluh. Tetapi hal itu ditakutkan menimbulkan kecemburuan sosial kepada guru honorer.

“Awal pengajuannya dulu Rp1.000.000, namun hanya Rp300.000 yang diterima,” ujarnya.

Perekrutan penyuluh bagi kaum penghayat kepercayaan dilakukan secara sukarela. Hal ini dikarenakan minimnya tenaga pendidik yang sudah memenuhi standar nasional atau lulusan perguruan tinggi.

Dari gaji Rp300.000 perbulan tersebut, saat memasuki Ujian Akhir Sekolah (UAS), Kartini harus membuat soal sendiri, karena belum ada soal dari Diknas. Ia juga harus bolak balik ke tukang foto copy untuk meminta tolong mengetikkan soal ulangan dan mencetaknya.

Kartini mengatakan, hal itu dilakukan karena ia belum memiliki laptop. Sehingga untuk mengetik soal ulangan ia membutuhkan jasa orang lain. Tidak hanya itu, untuk biaya percetakan, Kartini juga harus merogoh kocek dari kantongnya sendiri.

“Mungkin kalau sudah ada laptop jadi lebih ringan,” harapnya.

Beberapa penyuluh kadang masih belum memahami teknis di lapangan. Misalnya saat mengisi nilai rapor. Kartini dan dua penyuluh lainnya harus memasukkan nilai secara manual, karena sistem yang digunakan belum update.

“Soal untuk ulangan kan dari kita, tidak dari Korwil. Nah kadang nilai tersebut tidak terdeteksi, karena manual. Sehingga nanti nilai agama dikosongkan, kemudian diganti dengan satu lembar kertas berisi nilai mata pelajaran penghayat kepercayaan dari kami,” katanya.

Selain itu, di aplikasi yang digunakan untuk mengisi nilai rapor, opsi penghayat kepercayaan pun belum tersedia seluruhnya. Saat ini, menurut Kartini, hanya SD Negeri Karowelang Anyar yang sudah menyediakan opsi tersebut. Sedangkan sekolah yang lain masih kolom agama semua.

“Itu pun caranya bagaimana saya tidak paham, katanya disalinkan saja. Tetapi untuk di sistemnya belum masuk, katanya nanti tahun depan,” lanjutnya.

Kartini berharap pemerintah lebih memperhatikan hal tersebut. Sehingga ia dan penyuluh penghayat kepercayaan lainnya tidak mengalami kendala saat mengisi nilai rapor ke depannya.

“Dulu saat kolom agama di KTP sudah boleh diisi penghayat kepercayaan, kan sudah ada surat dari MK. Itu saja di Kendal masih belum bisa untuk beberapa waktu, setelah ada update baru bisa. Mungkin untuk yang rapor ini nanti juga seperti itu. Semoga secepatnya,” lanjut Kartini.

Kartini sangat berharap pemerintah lebih memperhatikan para penyuluh dan anak didik penghayat kepercayaan. Misalnya dengan memenuhi kebutuhan para penyuluh, karena mereka yang memilih menjadi penyuluh kebanyakan meninggalkan pekerjaan utamanya demi fokus mengajar anak didik.

“Ada dari penyuluh yang dulunya karyawan swasta lalu keluar agar lebih fokus menjadi penyuluh. Maka kami sangat berharap pemerintah bisa memberikan anggaran lebih. Kami juga berharap ke depan para penyuluh bisa menjadi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) meski bukan lulusan universitas,” harap Kartini.

Tidak hanya itu, dulu peserta didik yang berasal dari keluarga Sapta Darma juga kerap mengalami diskriminasi di sekolah. Purnomo menceritakan anaknya yang bernama Cahyo saat masuk ke sekolah, menurutnya Cahyo kerap pulang ke rumah dengan tangisan. Cahyo sering menanyakan kepadanya, kenapa ia kerap dijauhi teman-temannya dan tidak diperbolehkan bermain bersama.

“Dulu itu tiap pulang nangis, terus nanya, bapak kenapa bapak, kenapa saya tidak diperbolehkan sama teman-teman untuk main bareng,” kata Purnomo.

Purnomo tidak bisa memberikan jawaban ketika anaknya menanyakan itu. Ia hanya terdiam sambil terenyuh serta sakit yang tidak bisa diceritakan.

“Kalau saya yang dihina tidak apa-apa, tetapi kalau anak saya yang merasakan, saya sedih. Tapi berjalannya waktu, hal-hal semacam itu sudah mulai hilang,” lanjutnya.

Terkait minimnya penyuluh penghayat kepercayaan, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal, Wahyu Yusuf Akhmadi mengatakan jika melihat kondisi saat ini, hal tersebut dialami pula oleh tenaga pendidik dari agama-agama lain.

“Jadi saya kira proporsi tiga penyuluh dari 17 siswa itu cukup,” katanya ketika dihubungi melalui telepon.

Kalau terkait apakah para penyuluh bisa menjadi guru PPPK, kata Wahyu, bukan parsial per Pemerintah Daerah (Pemda). Karena hal itu merupakan sebuah formasi yang diatur dan dilegislasi oleh pemerintah pusat, dalam hal ini yaitu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB).

“Di KemenPAN-RB itu ada penetapan jabatan yang dapat berasal dari PPPK, saat ini kita masih menunggu. Di e-Formasi sendiri belum terakomodir atas penyuluh atau pengampu penghayat kepercayaan. Jadi sampai saat ini belum tersedia,” lanjutnya.

Ketika ditanya terkait minimnya gaji bagi penyuluh penghayat kepercayaan, Wahyu mengatakan di tahun 2023 nanti pihaknya akan mengupayakan kenaikan gaji. Tetapi ia tidak bisa menyebutkan berapa nominalnya, lantaran hingga saat ini masih dalam proses karena budgeting antara pemerintah daerah dan legislatif masih berjalan.

“Nanti mungkin bisa saya sampaikan nominal tetapnya setelah ini menjadi kesepakatan bersama. Ditakutkan jika saya sampaikan nominalnya sekarang, tetapi ternyata nantinya ada dinamika perubahan nominal dalam pembahasannya,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Wahyu menyampaikan pihaknya akan berusaha untuk menambah jumlah gaji sebelumnya dan berkoordinasi dengan pihak MLKI.

Sistem input nilai yang masih dilakukan secara manual juga menjadi kendala tersendiri. Namun, dalam hal ini, Wahyu tidak bisa berbuat banyak. Pasalnya, untuk update sistem hanya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat. Ia hanya bisa menjalankan prosedur dan platform yang diberikan pemerintah pusat.

“Sementara ini sistem input nilai rapor memang masih manual, hal itu berdasarkan surat edaran dari Kemendikbudristek,” katanya.

Lebih lanjut Wahyu menyampaikan, hingga saat ini belum ada bantuan khusus berupa anggaran dana dan sejenisnya bagi peserta didik. Baik dari peserta didik penghayat kepercayaan, maupun peserta didik lainnya.

“Fasilitasi yang kami berikan saat ini masih dalam bentuk koordinasi dengan MLKI, baik dalam perekrutan tenaga penyuluh maupun hal-hal terkait peserta didik dari penghayat kepercayaan. Sehingga para peserta didik juga mendapatkan pendampingan maupun pembelajaran keyakinannya,” pungkasnya.

Tidak Adanya Rekognisi Negara

Menurut Ketua Program MA Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Pascasarjana UGM, Samsul Maarif, berbagai diskriminasi yang dialami para penghayat kepercayaan, termasuk Sapta Darma, dilatar belakangi oleh beberapa hal.

Salah satunya dari segi politik dan kebijakan yang berkaitan dengan sejarah pengelolaan agama dan kepercayaan. Ia menjelaskan, dulu, penghayat kepercayaan seperti Sapta Darma ditempatkan pada kelompok yang tidak mendapatkan rekognisi untuk perlindungan dari negara. Karena yang mendapatkan perlindungan dari negara dan dijamin oleh konstitusi hanyalah kelompok agama saja, sedangkan penghayat kepercayaan dulu tidak diakui sebagai agama.

Anak-anak penghayat kepercayaan Sapta Darma Kendal belajar praktik beribadah dipandung seorang penyuluh. (dok Sapta Darma untuk babad.id)
Anak-anak penghayat kepercayaan Sapta Darma Kendal belajar praktik beribadah dipandung seorang penyuluh. (dok Sapta Darma untuk babad.id)
“Kebijakan tersebut membuat status kewarganegaraan penghayat kepercayaan dari sisi negara bermasalah. Karena tidak ada rekognisi untuk perlindungan, maka di tingkat warga pun sering terjadi perdebatan yang ujungnya berdampak pada ekslusi sampai persekusi,” katanya ketika dihubungi via telepon, Senin 15 Agustus 2022.

Lebih lanjut Samsul mengatakan, tidak adanya perlindungan dari negara juga berdampak pada relasi sosial antara penghayat kepercayaan dengan kelompok warga negara lain, khususnya kelompok agama, yang diwarnai dengan narasi yang menyudutkan penghayat kepercayaan.

“Misalnya disebut sebagai tidak beragama, tidak memiliki kitab suci, atau tidak memiliki konsep kenabian. Narasi-narasi tersebut di antaranya menjadi basis ekslusi, peminggiran hingga persekusi. Terlepas dari penghayat kepercayaan yang memiliki konsep kebaikan, tetapi itulah relasi sosial yang selama ini ada,” ucapnya.

Narasi semacam itu, yang berkaitan dengan pengelolaan dan kebijakan terkait agama, dulu bisa terjadi terus menerus karena negara tidak melindungi. Berbagai praktik lokal yang dimiliki penghayat kepercayaan dituduh sebagai praktik sesat, bertentangan dengan agama hingga kafir.

Samsul mencontohkan jenis narasi lainnya, misalnya dalam hal pendidikan. Sebelum 2017, tidak ada yang namanya pendidikan kepercayaan, yang ada hanyalah pendidikan agama.

“Ini yang salah satu di antara hal yang menjadi alat reproduksi narasi yang menyudutkan bahwa penghayat kepercayaan bukanlah agama. Termasuk juga dalam hal perkawinan penghayat kepercayaan, dulu tidak diakui karena perkawinan harus melalui agama,” kata Samsul.

Samsul mengatakan, tidak adanya pelayanan yang sama menyebabkan publik secara umum sepakat dengan narasi-narasi kelompok agama yang menyudutkan tersebut. Ketika publik sudah sepakat, maka kemudian yang terjadi adalah normalisasi persekusi. Dampaknya diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan itu dianggap normal, bahkan didukung.

Kebijakan negara dalam merumuskan pengelolaan agama dirasa kurang tepat. Karena hingga saat ini, hanya 6 agama saja yang diakui. Menurut Samsul, hal ini lah yang menjadi basis 6 yang dilindungi, 6 yang difasilitasi, dan 6 yang dilayani.

“Jadi, negara melalui pengelolaan agama itu telah melakukan diskriminasi. Kebijakan di atas tadi membuat warga negara dibedakan dan dibelah, dan pembedaan itu yang menyebabkan diskriminasi. Ini masalah besar yang sampai saat ini masih ada,” lanjut Samsul.

Ia melanjutkan, jika negara telah melakukan diskriminasi pembedaan warga negara, maka yang bisa terjadi adalah diskriminasi di tingkat warga. Karena negara sendiri tidak memberikan perlindungan kepada penghayat kepercayaan.

Perubahan Kebijakan

Perubahan kebijakan dari pemerintah perlu dilakukan agar diskriminasi terhadap penganut penghayat kepercayaan terus terjadi. Menurut Samsul, kebijakan negara yang hingga saat ini masih dipegang bisa disebut sebagai politik agama resmi. Jadi ada peran politik yang menjadikan beberapa agama itu menjadi agama resmi.

“Negara sebenarnya tidak memiliki agama resmi. Namun dalam peraturan perundang-undangan, negara mempraktikkan politik agama resmi, yakni membuat 6 agama menjadi resmi. Hal ini sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1945,” katanya.

Samsul menyinggung tentang penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama. Saat itu beberapa kelompok warga negara membawa UU Penodaan Agama ke MK untuk dibatalkan karena bertentangan dengan konstitusi. Namun, MK memberikan argumen bahwa sesungguhnya negara itu mengakui dan melindungi semua agama yang ada di Indonesia termasuk selain 6 agama yang disahkan. Agama-agama yang tidak termasuk dalam 6 agama tersebut, termasuk dalam agama leluhur atau agama lokal yang mana hal ini tercantum dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945.

Berdasarkan hal tersebut, Samsul beranggapan bahwa sebenarnya secara norma, konstitusi kita menjamin kemerdekaan semua agama yang ada di Indonesia. Tetapi politik agama resmi yang bentuknya berbagai peraturan perundang-undangan, seperti undang-undang Pusdiknas yang mewajibkan pendidikan agama, namun hanya 6 agama saja yang difasilitasi.

“Berbagai macam peraturan yang menyebutkan kolom agama nyatanya hanya mencantumkan pilihan 6 agama saja, misalnya ketika kita ingin mendaftar atau menikmati fasilitas negara yang mengharuskan kita mencantumkan kolom agama tersebut. Itu bentuk politik agama resmi yang bertentangan dengan norma konstitusi,” jelas Samsul.

Dalam hal pendidikan agama misalnya, pendidikan kepercayaan saat ini masih berbasis peraturan menteri di bawah undang-undang. Menurutnya, jika hanya peraturan menteri dikhawatirkan jika menterinya berganti, maka peraturannya ikut berganti. Hal ini menjadi ancaman tersendiri.

“Peraturan menteri untuk pendidikan penghayat kepercayaan ini sebenarnya merupakan terobosan yang bagus. Tetapi kalau melihat praktiknya, ketimpangan antara pendidikan agama dan pendidikan kepercayaan masih jelas terlihat,” katanya.

Ia menambahkan, pendidikan agama pada dasarnya difasilitasi dengan sangat besar. Sedangkan pendidikan penghayat kepercayaan masih terkesan apa adanya. Peraturan-peraturan tersebut masih perlu dikembangkan lagi dan negara perlu melakukan perbaikan-perbaikan untuk menuju perlakuan warga negara yang setara.(Isbalna)

Liputan ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant: Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS)

babad.id | Stori Loka Jawa
babad.id | Stori Loka Jawa babad.id | Stori Loka Jawa merupakan media online berbasis multimedia dengan konten utama seputar seni, budaya dan sejarah Jawa. Babad.id juga membuka ruang opini kepada penulis lepas.

Posting Komentar

Webinar Aku Wong Jawa

Diskusi Buku: Lukisan Kaligrafi

"Lukisan Kaligrafi: Mengukir Spiritual, Memahat Estetika". Bersama inisiator Teras Baca Boja, Zakia Maharani.

Daftar Sekarang!

📣 Ikuti Tantangan Bulanan "Cerita dari KKN"! 📣

Bagikan pengalaman KKN-mu yang paling berkesan dan menangkan hadiah menarik setiap bulannya! Ini kesempatanmu untuk berbagi cerita inspiratif dan mendapatkan apresiasi.