Melihat Kerukunan dalam Keberagaman di Desa Yosomulyo Banyuwangi
Banyuwangi menyimpan banyak sisi berkaitan toleransi. Tulisan berikut ini menggambarkan keberagaman di Banyuwangi saat peringatan Waisak.
![]() |
Gerbang Wihara Darma Harja di Desa Yosomulyo Kecamatan Gambiran. (Fareh Hariyanto) |
BABAD.ID | Stori Loka Jawa - Menjadi Kabupaten Terbesar di Pulau Jawa, membuat Banyuwangi memiliki segalanya. Beragam warisan adat, agama dan budaya berkelindan dengan kearifan lokal di dalamnya.
Memiliki keragaman yang terbangun sejak lama membuat Kabupaten Banyuwangi memiliki sisi toleransi tinggi antar pemeluk agama lain.
Hal tersebut terlihat jelas saat berkunjung di Wihara Dharma Harja di Dusun Sidorejo Wetan, Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran, Kabupaten Banyuwangi - Jawa Timur. Saya berkunjung di sana pada pertengahan bulan lalu tepatnya sehari sebelum peringatan Trisuci Waisak 2566/2022.
Bentuk toleransi yang cukup kentara terlihat di Desa Yosomulyo ini, sebab di sini selain Wihara Dharma Harja, sekitar 1,7 kilometer juga berdiri Gereja Kerasulan Baru Indonesia (GKBI) yang berada di Dusun Krajan Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran.
Saat menempuh perjalanan sejauh 1,7 kilometer di antara dua tempat ibadah itu, saya juga melihat bangunan Masjid Baitul Qudus berada di tengah antara Gereja dan Wihara.
Siang itu saya bertemu dengan Banthe Teja Punyo Mahatera di Wihara Darma Harja, tempat ibadah umat Buddha yang pada Agustus 2022 genap berusia 52 tahun. Tampak hiruk pikuk persiapan untuk peringatan Trisuci Waisak 2566/2022 sudah terasa di sekitaran Wihara.
Banthe Teja, sapaan akrabnya mempersilahkan saya untuk duduk di aula penerimaan tamu. Saya pun langsung mengajukan beragam pertanyaan yang sudah saya siapkan berkaitan dengan peringatan Trisuci Wisak 2566 / 2022.
Apalagi kabarnya Sangha Theravada Indonesia (STI) sebagai organisasi keagamaan umat Buddha menunjuk Kabupaten Banyuwangi yang dipercayai untuk menjadi lokasi perayaan Waisak di Provinsi Jawa Timur.
Banthe Teja menjelaskan Waisak adalah Hari Raya Umat Buddha, menurutnya istilah Waisak berasal dari kata Sansekerta Waishakha, Pali Vesakha. Hari Waisak sebagai peringatan kelahiran, pencerahan, dan kematian Sang Buddha, Siddharta Gautama.
Di India, Hari Waisak juga dikenal sebagai Visakah Puja atau Buddha Purnima. Di Tibet, Waisak disebut Saga Dawa. Di Malaysia dan Singapura disebut Vesak. Adapun di Thailand disebut Visakha Bucha.
Di banyak negara Asia Tenggara, lanjut Banthe Teja Hari Waisak dijadikan sebagai hari libur nasional, termasuk di Indonesia.
![]() |
Banthe Teja Punyo Mahatera saat ditemui di Wihara Darma Harja. (Fareh Hariyanto) |
“Pada hari ini selalu dilakukan dengan pelayanan khusus dan berbuat kebaikan, seperti membagikan makanan atau sedekah kepada para bhikkhu (red. biksu) serta pelepasan hewan di alamnya,” jelasnya.
Saling Tolong Menolong
Menurut Banthe Teja di Wihara Dharma Harja ada kegiatan pra acara untuk Trisuci Waisak dan perayaan pasca acara. Ia merinci kegiatan pra acara mulai dari Fang Sheng yang di lakukan bersama umat, Fang sheng berasal dari bahasa Mandarin, yang mana Fang berarti melepas dan Sheng menunjuk pada makhluk hidup.
Fang Sheng memiliki filosofi saling tolong menolong dalam kehidupan manusia. Setiap makhluk hidup pasti merasakan penderitaan. Untuk menghapus penderitaan itu, diperlukan pertolongan makhluk lain.
Nah, melepaskan makhluk-makhluk yang terancam kondisinya hidup dialamnya menjadi salah satu cara yang bisa di lakukan manusia. Sama seperti halnya kehidupan sosial manusia yang memerlukan bantuan orang lain.
Lebih jauh ia menjelaskan semangat Fang Sheng Buddha Dharma adalah ajaran yang sangat menghargai kehidupan. Oleh karenanya setiap makhluk hidup sekecil apapun adalah sama berharganya dengan diri kita.
Buddha Dharma mengajarkan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak mengakhiri kehidupan makhluk lain dengan alasan apapun.
"Secara sederhana Fang Sheng memiliki pengertiannya melepaskan makhluk hidup ke habitatnya masing-masing agar mereka mereguk kembali kehidupan alam yang bebas dan bahagia," ujarnya.
Sementara itu, kegiatan lain untuk pra acara tri suci waisak di wihara tersebut juga diselenggarakan Pindapata. Banthe Teja menerangkan pindapata dimulai dengan diawali dengan puja bhakti (red. doa bersama) usai melakukan puja.
Tradisi ini bermakna menerima derma (sedekah), setiap banthe membawa periuk kosong berwarna coklat keemasan sambil berjalan rapi disekitaran jalur desa dekat Wihara.
Nantinya ratusan umat yang sudah menunggu di sekitar jalur tersebut satu per satu mengisi periuk-periuk dengan berbagai barang berupa seperti uang, makanan dan minuman. Pindapata merupakan tradisi kuno sejak zaman Sang Buddha Gautama yang mengandung maksud sebagai derma.
Momen tersebut pun menjadi salah satu kesempatan untuk langsung berbagi dengan para banthe. "Umat Buddha memberikan sokongan kepada para banthe. Memberi kepada yang patut menerima," katanya.
Mengenang Kehidupan Buddha
Selain dua kegiatan diatas, di Kabupaten Banyuwangi sebelum Trisuci Waisak juga dilakukan kegiatan bagi-bagi sembako untuk masyarakat yang membutuhkan.
Total ada lebih 1000 paket sembako yang disebarkan di 14 wihara yang tersebar di Kabupaten Banyuwangi untuk nantinya dibagikan ke masyarakat sekitaranya yang membutuhkan.
Tidak hanya itu, umat juga melaksanakan pendalaman dharma selama satu bulan penuh. Baik yang diselenggarakan melalui daring, maupun secara luring di wihara, sekaligus menganjurkan kepada umat untuk melakukan tirakat (red. berpuasa) dan meditasi.
Hingga pada hari H perayaan mulai pukul 07.00 WIB akan di mulai rangkaian pelaksanaan perayaan Trisuci Waisak. Kegiatan tersebut dimulai dengan Puja Bhakti perayaan Trisuci Waisak 2566 TB / 2022.
Kemudian detik-detik peringatan Trisuci Waisak hingga tepat pada pukul 11 menit ke 13 detik ke 46 secara bersama-sama seluruh umat Buddha.
Menurut Banthe Teja, pada saat itu umat Buddha dimana pun berada apalagi yang tidak sempat datang ke wihara dianjurkan untuk dapat sejenak mengenang kembali tiga peristiwa yang pernah terjadi dalam kehidupan Buddha.
"Tiga peristiwa yang pernah terjadi dalam kehidupan Buddha, yaitu kelahiran pangeran Sidharta Gotama yang kemudian menjadi Buddha, pencapaian secara sempurna untuk menjadi Buddha dan peristiwa wafatnya," terangnya.
Acara di Kelenteng Hoo Tong Bio
Berkaitan dengan dipilihanya Kabupaten Banyuwangi sebagai tempat perayaan Trisuci Waisak di Provinsi Jawa Timur oleh Sangha Theravada Indonesia (STI) pihaknya mengaku mengapresiasi hal tersebut.
Mengingat terpilihnya Kabupaten Banyuwangi sebagai tempat perayaan tingkat provinsi di tahun 2022 merupakan kali yang pertama.
Ihwal tersebut terjadi dari serangkaian kegiatan Trisuci Waisak mulai awal hingga akhir di Kabupaten Banyuwangi yang berjalan lancar dengan tetap memperhatiakan protokol kesehatan.
Perayaan Trisuci Waisak tingkat provinsi itu bertempat di Kelenteng Hoo Tong Bio yang beralamat di Jalan Ikan Gurami Nomor 54, Kelurahan Karangrejo, Kecamatan Kota Banyuwangi pada tanggal 22 Mei mendatang.
Banthe Teja menambahkan nantinya pada perayaan tersebut akan hadir umat dari Banyuwangi dan perwakilan Banthe dari berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Mengingat lokasinya yang terbatas, kehadiran pesertanyapun akan di sesuaikan dengan kapasitas acara. Kegiatan tersbut akan di mulai pada pukul 11.00 WIB untuk pra acaranya, hingga acara utama pukul 13.00 WIB.
Berdasarkan data Sanga Theravada Indonesia (STI), perayaan Trisuci Waisak memilih lima lokasi yang ada di Indonesia.
Pertama untuk di Jawa Tengah ada di Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Pun begitu peringatan untuk Trisuci Waisak juga dilakukan di Candi Agung Borobudur.
Lalu perayaan Trisuci Waisak berpindah ke Jawa Timur tepat di Kabupaten Banyuwangi. Selang dua hari, yakni berada di Lombok. Kemudia perayaan berpindah lagi di Kalimantan. Terakhir perayaan Trisuci Waisak akan ditutup di Jakarta Barat.
Landasan Maknawi Agama
Mengusung tema Moderasi Beragama Membangun Kedamaian, Bhikkhu Sri Subhapanno Mahatera, Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia (STI) dalam pesan Trisuci Waisak 2566 / 2022 menuliskan moderasi beragama sangat tepat diterapkan di tengah kehidupan dewasa ini.
Hal itu agar memberi kesempatan bagi umat Buddha dan umat beragama lain untuk melaksanakan agama masing-masing sengan sikap saling toleran.
Keseimbangan pemahaman agama memerlukan keluasan wawasan berpikir sehingga mampu memahami agama sesuai dengan konteks sejarah maupun perkembangan zaman.
Konteks sejarah akan menghargai agama sesuai trasdisi pada saat itu, sedangkan konteks perkembangan zaman akan menghargai berbagai aspek kehidupan yang dibutuhkan pada zamannya.
Oleh karena itu, keseimbangan menerapkan agama memerlukan landasan maknawi agama yang menjadi pedoman utama bagi umat beragama.
Landasan maknawi agama diperoleh dari sejauh mana umat beragama memahami esensi pandangan pendiri agamanya yang terdapat pada teks agama sebagai jalan bijak memadukan cinta kasih dan kasih sayang serta pemahaman agama lebih terbuka.
Walhasil moderasi beragama dapat menjauhkan sikap ekstrem bahkan pemikiran primordialisme dan intoleransi terhadap perbedaan. Seperti pengajaran Guru Agung Buddha berkaitan kehidupan berimbang dengan prinsip jalan tengah.
Ibarat menarik senar gitar terlalu kencang atau memasang terlalu kendur, sama-sama tidak menghasilkan suara yang indah. Pun buatlah senar gitar sedang-sedang sesuai porsinya, supaya menimbulkan suara merdu dan dapat didengar dengan menyenangkan.
Hidup berimbang itu diwujudkan dengan pengembangan kebijaksanaan, kesusilaan (moral) dan ketugahan pikiran (meditasi) Buddhis agar membangun kedamaian yang tumbuh dari diri sendiri dahulu, kemudian diterapkan ke luar diri.(Fareh Hariyanto)
Posting Komentar