Dari Kampung Sekayu Semarang, Nh Dini Melegenda Bersama Kenangan Hidupnya
![]() |
Rekam jejak sastrawan Semarang, Nh Dini. (Abdul Arif/babad.id) |
Secara masif, kampung yang berada di Jalan Sekayu Kramat Jati, Kecamatan Semarang Tengah itu ditumbuhi oleh rumah-rumah beton.
Hanya tinggal beberapa rumah dengan fasad seperti jendela krepyak era kolonial dan ubin tegel yang masih dapat dijumpai.
Di antara rumah-rumah tersebut terdapat rumah masa kecil sastrawan asal Semarang yang mendunia.
87 tahun yang lalu, tepatnya pada hari Sabtu, 29 Februari 1936 lahir seorang bayi perempuan, buah hati dari pasangan Saljowidjojo dan Siti Kusaminah.
Bayi itu diberi nama Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang kemudian masyhur menjadi sastrawan, Nh Dini.
Rumah berpagar besi biru pudar dengan nomor 348 itu ialah rumah masa kecil Nh Dini.
Saat ditemui di kediamannya, Oeti Siti Adiati mengatakan telah banyak yang berubah dari rumah masa kecil sepupunya, Nh Dini.
"Rumah ini dulunya milik eyang (Saljowidjojo dan Siti Kusaminah). Semua sudah meninggal, anak-anaknya budhe, angkatan ibu saya juga sudah meninggal semua," sebutnya kepada Babad.id, Jumat, 10 November 2023.
"Ya sudah banyak yang berubah, sekarang jadi mikir kenapa dulu tidak mendokumentasikannya," tambahnya.
Dari pagar, cat rumah warna kombinasi putih keabuan, hingga keramik putih yang ada itu pun sudah bukan barang tinggalan sejak dulu.
"Dulu keramiknya itu warna merah, teksturnya kasar kalau mau bersihin susah harus disikat," lanjutnya.
![]() |
Rumah sastrawan Nh Dini di Kampung Sekayu, Kota Semarang. (Fikri Thoharudin/babad.id) |
Inspirasi dari Kenangan Hidup
Sembari menyiram tanaman, Oeti mengenang masa-masa di mana sang sastrawan masih begitu produktif.
Oeti Siti Adiati menafsir bagaimana pribadi sang sepupunya itu berkarya.
"Kalau membaca karyanya, sepintas saya melihat bahwa itu cerita hidupnya. Tapi ya diimbangi dengan fiksi, sehingga meskipun ada kehidupannya pribadi namun ada inspirasi lain yang masuk ke sana," terangnya.
Sewaktu pulang dari Prancis (setelah bercerai dengan Yves Coffin) Nh Dini meminta untuk dibikinkan satu kamar khusus dan perpustakaan, sebab ia membutuhkan suasana tenang apabila sedang menuangkan ide-ide dari kepalanya.
"Ya di sinilah Nh Dini pernah membuka taman baca. Ada jadwalnya sendiri, misal kajian anak nanti diceritakan si anak tersebut mau membahas apa. Ia memandu, melatih anak-anak untuk berpikir dan senang membaca buku, sekarang mereka sudah besar-besar," bebernya dengan mengenang suasana puluhan tahun silam.
Karya-karya Nh Dini
Sastrawan kenamaan Indonesia, Remy Sylado (1945-2022) pun pernah membagikan kesannya. Dirinya menyebut lewat tulisan bertajuk "'Kapal' Terakhir Nh Dini", bahwa Nh Dini membuka panorama sastra Indonesia dengan pandangan kecendekiawanan.
Remy menilai Nh Dini sebagai sastrawan yang amat kaya dan memperkaya wawasan pembaca Indonesia.
Hingga akhir hayat, Nh Dini sebagai salah satu sastrawan angkatan '50 meninggalkan sumbangsih besar dalam dunia kepenulisan Indonesia. Ia meneladankan sikap disiplin berkarya lewat puluhan buku dan ratusan cerpen yang ia tulis.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh Babad.id, deretan karya Nh Dini meliputi, Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981).
Selain itu Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Orang-orang Tran (1993), Seni dan Garis (1983), serta terjemahan buku karya Albert Camus "Lapeste" berjudul Sampar.
Selanjutnya, Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Tirai Menurun (1993), Panggilan Dharma Seorang Bikku (1996), Tanah Baru Tanah Airku Kedua (1997), Cerita-cerita dari Prancis I dan II (2000), Kemayoran (2000), Jepun Negerinya Hiroko (2000).
Ditambah dengan, Istri Konsul (2002), Monumen (2002), Dari Parangakik ke Kampuchea (2003), Janda Muda (2003), Pencakar Langit (2003), Dari Fontenay ke Magallianes (2005), La Grande Borne (2007), Argenteuil: Hidup Memisahkan Diri (2008), Pondok Baca Kembali ke Semarang (2011), Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang: Cerita Kenangan (2012), Depart (2013), Impertinentes (2013), Departures (2014), Dari Ngalian ke Sendowo (2015), Gunung Ungaran (2018).
Proses Berkarya Nh Dini
Melansir dari wawancara eksklusif Nh Dini dengan redaksi majalah LPM Missi tahun 2002, Nh Dini menyampaikan keprihatinannya terhadap generasi muda yang kian memiliki pikiran pragmatis dalam berkarya.
"Bocah nom-nom saiki ora gelem mikir, maunya yang instan, langsung jadi. Nggak mau membaca ulang, padahal saya menulis Pada Sebuah Kapal, itu saya membaca ulang sampai seratus kali, dan masih saya koreksi lagi," urai Nh Dini.
Masih dalam wawancara yang sama, Nh Dini mengaku, sepanjang proses berkaryanya, tak ada pihak yang meminta dan menyuruhnya untuk menulis, ia menulis karena keinginan sendiri.
"Saya memulai dari satre, prosa berirama, kemudian sajak, cerita pendek, novel pendek 'hati yang damai' kemudian novel," runutnya.
Dalam kesehariannya, Nh Dini selalu membawa buku catatan di sampingnya.
"Inspirasinya ya datang dari kehidupan, lingkungan sekitar, dari aktivitas baca koran, telepon, televisi, pembicaraan orang, suasana di mana-mana, bahkan dalam berbincang-bincang," tuturnya 21 tahun yang lalu.
Untuk menyelesaikan karyanya, Nh Dini tak pernah terbebani oleh waktu.
"Nggak ada batasannya, nggak ada hitungannya, karena begitu saya menuangkan ide, setelah itu saya harus mengoreksi, dan saya ngoreksi tidak hanya satu dua kali, bisa sampai seratus kali," tekannya.
Hingga akhir hayatnya Nh Dini ternyata memegang teguh apa yang pernah menjadi pesan dari ibunya.
"Kamu harus mengakar kalau mengerjakan sesuatu. Selain itu harus baik, dan usahakan menjadi semakin lebih baik," kata Nh Dini dalam wawancara eksklusif majalah LPM Missi berjudul Buruh: Kaum Terpinggirkan.(Fikri Thoharudin)
Posting Komentar