Gamelan Jawa Pikat Musisi Belanda: Teater Lingkar Semarang Jadi Jembatan Diplomasi Nada
Musisi Belanda terkesima gamelan Jawa di Semarang. Teater Lingkar jadi jembatan budaya, memadukan tradisi & modernitas. Kisah diplomasi nada & pelestarian seni.
![]() |
| Musisi asal Belanda menjajal ganelan di sanggar seni Teater Lingkar Semarang, Selasa, 9 September 2025. (Dok Teater Lingkar) |
SEMARANG, BABAD.ID | Stori Loka Jawa – Denting bilah saron yang awalnya terdengar pelan dan ragu-ragu kini mulai selaras, dimainkan oleh seorang musisi berambut pirang asal Belanda di sebuah sanggar kecil di jantung Kota Semarang, Selasa, 9 September 2025. Bukan di Amsterdam atau Rotterdam, melainkan di Sanggar Seni Teater Lingkar, seniman asing ini menemukan irama baru, membuktikan kuatnya magnet musik tradisi Jawa bahkan bagi mereka yang terbiasa dengan notasi Barat.
Hanya dalam waktu tiga jam, musisi Belanda tersebut bersama rekan-rekannya mampu memainkan tiga gending Jawa. Mereka bahkan turut melantunkan tembang klasik seperti "Suwe Ora Jamu" dan "Tul Jaenak" dengan logat asing yang kental. Meskipun alunan itu jauh dari sempurna, upaya mereka cukup membuat para pengajar gamelan tersenyum bangga.
![]() |
| Musisi asal Belanda berpose bersama kru Teater Lingkar Semarang. |
Kunjungan ini merupakan bagian dari agenda seni yang padat. Sehari sebelumnya, kelompok musisi ini tampil di Festival Kota Lama Semarang. Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan ke Solo untuk mengikuti workshop karawitan, lalu berbagi pengalaman bermusik di Universitas Katolik Soegijapranata. Jadwal padat menunggu mereka di Jakarta sebelum akhirnya kembali ke Belanda. Rangkaian perjalanan itu menegaskan bahwa musik tradisi Jawa masih memiliki daya tarik kuat, bahkan bagi seniman mancanegara.
Sari, pengasuh Sanggar Seni Teater Lingkar yang menaungi kelompok karawitan Sindhu Laras, mengungkapkan kegembiraannya menjadi tuan rumah. "Senang sekali bisa menjadi tuan rumah yang baik," ujarnya.
Menurutnya, sanggar ini memang terbuka untuk siapa saja, tidak hanya seniman asing, tetapi juga pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat umum yang sekadar penasaran ingin mencoba.
"Mau gamelan, wayang kulit, atau sekadar nembang Jawa, semua bisa difasilitasi di sini," tambah Sari, menekankan bahwa bagi komunitas seni itu, membuka ruang pertemuan lintas budaya sama pentingnya dengan melestarikan tradisi.
Aspek diplomasi budaya pun terasa kuat dalam kunjungan ini. Bob Wardhana, staf Kedutaan Indonesia yang turut mendampingi, bahkan ikut menabuh gamelan.
"Meski sebentar, pengajarnya runtut. Tidak hanya soal cara memukul, tapi juga teknik dasar. Jadi pengalaman ini bukan sekadar coba-coba," katanya.
Diplomasi budaya, tampaknya, lebih mudah merasuk lewat harmoni nada. Dalam waktu singkat, para tamu asing itu tidak hanya belajar memainkan alat musik, tetapi juga mulai memahami filosofi di balik setiap tabuhan.
Sindhunata Gesit, Ketua Teater Lingkar sekaligus dalang muda, melihat kunjungan ini sebagai bukti nyata bahwa tradisi Jawa masih bisa berdialog dengan dunia modern.
"Saya tidak menolak budaya luar, karena kesenangan tidak bisa dipaksa. Tapi tradisi warisan bangsa jangan ditinggalkan," katanya.
Sindhu sendiri kerap bereksperimen dengan format pertunjukan, memadukan musik modern dengan wayang, atau menyelipkan tema populer agar pertunjukan tidak kaku dan lebih dekat dengan generasi muda.
"Dalam seni tidak ada benar atau salah. Yang penting bagaimana penonton bisa terhubung," ujarnya.***


Posting Komentar