Mengupas Kembali 'Lukisan Kaligrafi', Kritik Spiritual Gus Mus yang Tak Lekang oleh Waktu
Bagaimana Gus Mus menyampaikan dakwah dan kritik sosial tanpa menggurui? Temukan jawabannya dalam bedah buku cerpen 'Lukisan Kaligrafi' oleh pegiat literasi.
![]() |
Inisiator Teras Baca Boja, Zakia Maharani saat diskusi buku Antologi Cerpen Lukisan Kaligrafi dalam forum rembookan episode 1, Sabtu, 28 Juni 2025. |
SEMARANG, BABAD.ID | Stori Loka Jawa – Karya sastra Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri, atau yang akrab disapa Gus Mus, kembali menjadi cermin refleksi spiritualitas masyarakat. Melalui antologi cerpennya yang masyhur, Lukisan Kaligrafi, Gus Mus menyajikan kritik sosial dan perenungan mendalam tentang praktik beragama yang kerap kali terjebak pada formalisme. Buku ini menjadi sentral dalam episode perdana program diskusi "Rembookan" yang dihelat secara virtual pada Sabtu malam, 28 Juni 2025.
Acara yang diinisiasi oleh media literasi Babad.id bekerja sama dengan perpustakaan komunitas Teras Baca Boja ini menghadirkan Zakia Maharani, seorang pegiat literasi dan pendiri Teras Baca Boja, sebagai narasumber utama. Diskusi yang dimoderatori oleh Abdul Arif, dosen Teknologi Pendidikan UNNES ini mengupas tuntas 15 cerpen dalam buku tersebut, yang dinilai masih sangat relevan dengan fenomena sosial-keagamaan kontemporer.
Zakia Maharani, yang mengaku telah mengagumi karya Gus Mus sejak SMP, menyebut buku Lukisan Kaligrafi sebagai karya yang mampu menampar tanpa menggurui. Menurutnya, Gus Mus dengan cerdas membungkus kritik tajam dalam narasi yang luwes, dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan sarat dengan nuansa kultur pesantren yang kental.
"Dalam 15 cerpen ini, Gus Mus sejatinya mau menceritakan kepada kita tentang konsep keberagaman di Indonesia dan juga budaya pesantren," ujar Zakia dalam pemaparannya.
"Membaca buku ini tidak seperti digurui. Gus Mus mengkritik, tetapi juga memberikan solusi dan merefleksikan kepada kita bagaimana seharusnya memeluk agama dan memahami konsep ketuhanan."
Salah satu cerpen yang menjadi sorotan utama adalah "Gus Jafar". Cerita ini mengisahkan seorang pemuda yang dianugerahi kemampuan melihat takdir seseorang—ahli surga atau neraka—hanya dengan menatap keningnya.
Namun, anugerah tersebut justru menjadi cobaan yang membuatnya nyaris tergelincir dalam kesombongan spiritual. Gus Jafar akhirnya disadarkan oleh seorang kiai sepuh bahwa pengetahuan gaibnya tak ada artinya di hadapan kehendak mutlak Tuhan.
"Kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kamu melihat tanda ahli neraka di kening saya," kutip Zakia dari salah satu dialog paling menohok dalam cerpen itu. "Kau kan tahu, sebagaimana neraka dan surga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya... untuk memasukkan hamba-Nya ke surga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan."
Kisah ini, menurut Zakia, menjadi kritik pedas terhadap fenomena penghakiman dangkal yang kerap terjadi di masyarakat, di mana penampilan luar dijadikan satu-satunya tolok ukur kesalehan.
Cerita lain yang dibahas mendalam adalah "Amplop-amplop Abu-abu", yang disebut Zakia sebagai pengalaman membaca yang "mind blowing". Cerpen ini berkisah tentang seorang mubalig yang dalam setiap dakwahnya di berbagai kota selalu bertemu dengan seorang pemuda misterius.
Pemuda itu selalu memberinya amplop abu-abu berisi sejumlah uang dan secarik kertas berisi pesan-pesan spiritual yang mendalam, ditutup dengan nama "Hamba Allah". Pada amplop terakhir, terungkap identitas pengirim sebagai "Hamba Allah, Khidir", merujuk pada sosok nabi misterius dalam tradisi Islam.
"Cerita ini cerdas sekali. Gus Mus menghadirkan sosok Khidir untuk mengingatkan kita, terutama para pendakwah, bahwa esensi berdakwah adalah keselarasan antara ucapan dan perbuatan," jelas Zakia.
Dakwah melalui Pena
Gaya bercerita Gus Mus yang memadukan realitas dengan surealisme magis khas dunia pesantren menjadi kekuatan utama karyanya. Abdul, sang moderator, menambahkan bahwa dakwah melalui pena (dakwah bil qalam) yang dilakukan Gus Mus justru memiliki jangkauan yang lebih luas dan abadi.
"Membaca cerpen-cerpen beliau seolah-olah kita sedang mendapatkan ceramah yang luar biasa mendalam, tanpa merasa digurui," ujarnya.
Diskusi "Rembookan" ini tidak hanya berhenti pada bedah karya. Ia juga menjadi ruang untuk menyuarakan pentingnya literasi bagi generasi muda. Zakia mendorong para peserta, yang mayoritas adalah mahasiswa, untuk tidak hanya menjadi penikmat, tetapi juga produsen wacana melalui tulisan.
"Satu-satunya yang tidak bisa digantikan oleh teknologi dan AI adalah kreativitas. Menulislah dengan hati, dengan kesadaran. Semua keresahan bisa diolah menjadi tulisan yang menarik," pesannya.
Sebagai sebuah program perdana, "Rembookan" diharapkan menjadi pemantik bagi lahirnya ruang-ruang diskusi produktif lainnya. Dengan mengupas karya-karya sastra yang kaya akan nilai seperti Lukisan Kaligrafi, program ini berupaya menghidupkan kembali tradisi literasi yang kritis dan reflektif, mengajak pembaca untuk tidak sekadar beragama, tetapi juga merenungi makna keberagamaannya.***
Posting Komentar