Dari Pendapa ke Platform Digital: Bagaimana Karawitan Tetap Bertahan di Era yang Serba Cepat? Ini Peluang dan Tantangannya Menurut Anon Suneko, Dosen ISI Yogyakarta

Daftar Isi

Gamelan di era kini yang sudah mulai didigitalisasi
Gamelan di era kini yang sudah mulai didigitalisasi (commons.wikimedia.org)

Oleh: Mukaromatun Nisa

BABAD.ID | Stori Loka Jawa — Pada episode ke-17 program Aku Wong Jawa, acara live Instagram ngobrol santai seputar stori loka Jawa, babad.id mengundang Anon Suneko, seorang pengrawit sekaligus dosen karawitan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

 

Pada live tersebut, dulur-dulur babad diajak menyelami dunia karawitan, khazanah budaya Jawa yang sarat nilai.

Apa Itu Karawitan?

Karawitan adalah istilah yang mungkin asing bagi mereka yang tidak berkecimpung dalam dunia seni atau akademisi. 


Menurut Anon, istilah ini lazim digunakan di lingkungan institusi seni seperti ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, dan sejumlah kampus seni lain di Indonesia. 


Di luar negeri, masyarakat lebih mengenal “gamelan” ketimbang “karawitan”.

 

“Ini wajar, karena yang mereka lihat dan dengar adalah alat musiknya, bukan sistem musik yang mengaturnya,” ungkap Anon.

 

Secara etimologis, karawitan berasal dari kata “rawit” atau “rawita”, yang berarti halus dan lembut. 


Dalam praktiknya, karawitan tidak hanya mencakup permainan instrumen, tetapi juga mencakup estetika, filosofi, struktur musikal, hingga nilai-nilai sosial dan spiritual. 


Karawitan adalah musik yang hidup, yang tidak hanya didengar tetapi juga dirasakan.

Gamelan dalam Konteks Budaya Jawa

Gamelan tidak bisa dilepaskan dari karawitan. Ia merupakan medium utama dalam penyajian karawitan, terutama di berbagai bentuk pertunjukan tradisional. 


Misalnya, dalam wayang kulit, gamelan menyajikan karawitan pakeliran


Dalam tari-tarian tradisional, gamelan menjadi gending beksan. Untuk upacara pernikahan adat Jawa, digunakan gending pinanganten, sementara dalam konteks keraton, disebut karawitan pakurmatan.

 

Masing-masing memiliki struktur, rasa, dan fungsi yang berbeda. Namun, semuanya menunjukkan betapa gamelan menyatu dalam kehidupan masyarakat Jawa. 


Ia bukan sekadar hiburan, melainkan juga sarana spiritual, sosial, dan pendidikan.

Gamelan di Era Kini

Gamelan masa kini yang disetting aestetic (flickr.com/the justified sinner)

Anon menyoroti bahwa gamelan adalah musik tradisi yang luar biasa karena mampu bertahan ratusan tahun. 


Bahkan pada tahun 2023, gamelan diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO. 


Namun, meski secara fisik dan simbolik masih bertahan, tantangan besar muncul dari sisi relevansi, khususnya di mata generasi muda.

 

Anak muda masa kini, terutama yang hidup di kota-kota besar atau bahkan di pusat budaya seperti Yogyakarta dan Solo, cenderung tidak menjadikan gamelan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. 


Ketertarikan pada gamelan seringkali muncul karena alasan sensasional, misalnya setelah menonton film horor yang menggunakan suara gamelan sebagai efek mistis.

 

Kondisi ini menunjukkan masih ada jarak antara nilai-nilai gamelan yang mendalam dengan orientasi hidup generasi digital. 


Mereka hidup dalam dunia yang serba cepat, instan, dan visual, sedangkan gamelan menuntut waktu, keheningan, dan perenungan.

Potensi Digitalisasi Gamelan

Meski demikian, menurut Anon, era digital juga membuka peluang baru. Saat ini telah muncul berbagai aplikasi gamelan, yang memungkinkan belajar gamelan secara daring. 


Platform musik seperti Spotify dan Apple Music mulai menampung karya-karya gamelan, baik yang klasik maupun yang telah dikreasikan ulang dengan pendekatan kontemporer.

 

Menariknya, banyak inisiatif ini justru datang dari luar negeri. Di beberapa negara Barat, gamelan dipandang sebagai warisan budaya yang layak dikaji, dipelajari, dan dijadikan proyek riset. 


Di universitas-universitas seperti UCLA, Harvard, dan Leiden, gamelan bahkan menjadi bagian dari kurikulum.

 

Sebaliknya, di Indonesia, gamelan masih belum menjadi profesi yang mapan secara ekonomi. 


Profesi sebagai pengrawit masih sering dipandang sebelah mata, dan peluang untuk hidup dari gamelan sangat terbatas. 


Hal ini membuat banyak generasi muda berpikir ulang sebelum benar-benar terjun ke dunia ini.

Relevansi Gamelan dan Karawitan

Gamelan dan karawitan perlu menemukan titik temu dengan kehidupan generasi masa kini. 


Bukan dengan mengubah substansi gamelan, tetapi dengan menciptakan ruang-ruang baru di mana gamelan bisa hadir tanpa kehilangan jati dirinya.

 

Anon mengajak dulur-dulur babad untuk berpikir lebih jauh. Mengapa gamelan belum bisa sebesar K-pop? Mengapa belum bisa sepopuler lagu Denny Caknan? 


Mungkin karena selama ini masyarakat belum menempatkannya dalam sistem yang mendukung. 


Gamelan masih belum berhasil digagas sebagai bagian dari budaya populer yang akrab, menyenangkan, dan memberi manfaat ekonomi.

 

Karena itu, menurut Anon, perlu ada upaya sadar dan kolektif untuk menjembatani dua dunia ini: dunia tradisi dan dunia modern. 


Perlu ada kolaborasi lintas disiplin, antara seniman, teknolog, pemasar, dan pendidik untuk menciptakan ekosistem baru bagi gamelan.

Kesimpulan

Gamelan bukan musik masa lalu. Ia adalah musik hidup yang terus tumbuh, namun saat ini sedang mencari bentuk baru yang sesuai dengan zaman. 


Karawitan bukan hanya warisan, tetapi juga potensi masa depan. Yang dibutuhkan hari ini bukan hanya pelestarian, tapi juga penciptaan masa depan yang relevan dan berkelanjutan bagi gamelan.

 

Generasi muda tidak anti-gamelan. Mereka hanya belum menemukan tempat untuk menyapa dan berdialog dengan gamelan dalam bahasa mereka sendiri. 


Mungkin saatnya gamelan hadir, bukan hanya di pendapa dan keraton, tapi juga di layar ponsel mereka.

Posting Komentar